Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KURANGNYA IDOLOGI PANCASILA MENGAKIBATKAN RADIKALISME MASUK PELAJAR


Di tengah aksi terorisme yang masih terus terjadi terungkap fenomena yang mencengngkan, radkalisme mulai masuk di kalangan pelajar.
Fenomena ini terungkap dari penelitian yang digelar oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam survei tersebut, siswa SMP dan SMA ditanya bersediakah terlibat aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Dan hasilnya, 48,9 persen siswa menjawab bersedia.
Saat ditanyakan apakah bisa dibenarkan aksi pengeboman seperti yang dilakukan oleh Imam Samudera, Amrozi dan Noordin M Top, sebanyak 14,2 sisiwa membenarkannya.
Survei juga menunjukkan 84,8 persen siswa setuju diberlakukannya syariat Islam. Sementara sebanyak 25, 8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara.
Survei tersebut tidak dilakukan pada siswa madrasah, melainkan di 100 sekolah negeri dan swasta, 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. Survei dilakukan selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 di sepuluh wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodetabek). Sebanyak 993 siswa SMP dan siswa SMA menjadi sampel penelitian.
Selain siswa, survei juga dilakukan pada guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA. Hasilnya, sebanyak 28,2 persen dari 590 guru yang menjadi sampel responden setuju aksi radikal. Sebanyak 7,5 persen membenarkan pengeboman, 76,2 persen setuju pemberlakuan Syariat Islam, dan 21,1 persen menyatakan Pancasilan sudah tidak lagi relevan.
Menyikapi survei LaKIP, sejumlah kalangan tidak mempercayainya karena hasilnya terlalu mengejutkan. Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, mempertanyakan metode survei tersebut. "Bagaimana penelitiannya, bagaimana metodologi penelitiannya?" tanya SDA, panggilan akrab Suryadharma.
Pengamat pendidikan Arif Rahman juga tidak mempercayai survei tersebut karena sangat berbeda dengan pengalamannya sehari-hari sebagai pendidik.
Meski sejumlah kalangan tidak mempercayai hasil survei tersebut, perlu kita ketahui radikalisme sangat dekat dengan terorisme. Radikalisme akan menjadi benih bagi munculnya terorisme. Maka jika kita serius memberantas terorisme, maka radikalisme harus diawasi dengan sungguh-sungguh dan disadari bahaya-bahayanya sedini mungkin.
Terlebih sekarang aksi terorisme terus terjadi dan beberapa pelakunya masih remaja dan beberapa masih sekolah. Kita tentu masih ingat Dani Dwi Permana. Anak baru gede (ABG) ini adalah bomber bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton.
Umur Dani masih 18 tahun ketika ia harus menjadi 'pengantin' pada bom yang menewaskan 9 orang pada 17 Juli 2009 itu. Saat itu Dani baru saja lulus dari sekolahnya, SMA Yadika, Bogor. Ia pun dikenal sebagai anak yang baik, taat beribadah, dan pintar baik di lingkungan tempat tinggal, maupun di sekolahnya.

Lalu pada Januari 2011 polisi menangkap lima siswa SMK yang diduga terlibat terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Satu siswa, AW sudah divonis 2 tahun karena terbukti terlibat aksi terorisme.
Bila sekarang ada survei yang menyatakan hampir 50 persen pelajar Jakarta setuju pada aksi radikal atas nama agama tentu sebaiknya ini membuat kita waspada. Survei itu sebaiknya menjadi peringatan agar segera dilakukan pencegahan.
Menjadi peringatan agar pemerintah dan kita semua, lingkungan masyarakat dan sekolah, untuk instrospeksi dan melakukan penangkalan atas radikalisme pada pelajar agar jangan sampai tumbuh menjadi benih terorisme. Cukuplah hanya Dani dan tidak ada lagi anak-anak lain yang menjadi 'pengantin' karena diperdaya teroris.
Melemahnya kekuatan Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa terjadi kepada kelompok mahasiswa dan pelajar. Kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila.
Pelajar semakin tidak hapal urutan dan sila-sila dalam Pancasila. Hal ini salah satu tanda penurunan wawasan kebangsaan di kalangan pelajar masa kini.
"Selain tidak hapal isi sila Pancasila, mereka juga sering kali terbalik-balik urutannya," Pemahaman Pancasila di kalangan pelajar penting mengingat Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan salah satu falsafah yang mengikat persatuan bangsa. "Pancasila juga merupakan salah satu dari empat pilar wawasan kebangsaan, di samping pemahaman akan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keragaman budaya".
Berkurangnya wawasan kebangsaan berdampak pada menipisnya rasa nasionalisme yang sudah mulai terlihat beberapa waktu terakhir. "Maraknya terorisme, radikalisme, pertikaian dan perkelahian antardesa, antar agama, merupakan salah satu tanda menipisnya rasa nasionalisme".
Semua ini karna melemahnya pemahaman Idiologi Pancasila dalam kalangan pelajar dan generasi muda. Pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah dengan sering merubah kurikulum dalam pembelajaran juga menjadi faktor utama minimnya pemahaman idiologi Pancasila terutama dalam bidang studi Pedidikan Kewarganegaraan, yang dulu kita kenal dengan bidang studi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudia dirubah dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), namun sekarang telah dirubah lagi dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang secara tidak langsung meghapus Pancasila dalam sistim pembelajaran. Jadi jangan heran bila Idiologi Pancasila mulai hilang dari kalangan pelajar.

Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini...???

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Adil Tidak Selalu Bijaksana

Oleh : Amin.W.S.Tuhulele

Ada sebuah kisah tentang Raja Solaiman Ia dihadapkan dengan sebuah permasalahan yg dibuat dua orang wanita. Seorang bayi sedang diperebutkan dua orang ibu. Mereka masing-masing mengaku sebagai ibu kandung dari bayi tersebut. Hakim-hakim seluruh negri sudah menyerah dan kehilangan pegangan dalam memberikan keputusan. Maklumlah, saat itu belum ada teknologi yang dimana, sering kita kenal dengan tes DNA...

Raja bersungu t-sungut, tapi tetap saja ia berpikir. Sejenak kemudian, tiba-tiba raja menghunus pedangnya dan berkata, "Kalau begitu, mari kita bikin keputusan yang adil! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua bagian yang sama, sehingga kalian masing-masing akan memperoleh separuhnya!!"

Ibu gadungan berteriak kegirangan, "Hidup Raja Solomo yang adil…!!" Sedangkan ibu kandung bayi itu langsung memucat wajahnya, lalu ia buru-buru bersimpuh di kaki sang raja dan memohon dengan pilu. "Ampun Tuanku baginda Raja, hamba ikhlaskan putra hamba diserahkan kepada ibu itu seluruhnya. Janganlah Tuanku memainkan pedang..."

Raja Solomo terharu dan tiba-tiba saja tertawa, dan ia berkata "Aku sudah mendapatkan keputusan." Kedua ibu itu terbengong-bengong dan harap-harap cemas. "Aku tetapkan, kaulah wanita mulia, ibu kandung bayi ini!" Raja Solomo lalu menyerahkan sang bayi kepada ibu yang berlutut di hadapannya. Legalah sang ibu kandung itu...

Kisah inilah yang antara lain membuat Raja Solomo disebut sebagai raja yang bijaksana. Dari kisah itu pula kita bisa mengambil hikmah bahasa yang unik : makna kata adil  sangat berbeda dengan makna kata bijaksana (apabila tidak dapat dikatakan bertolak belakang).

Kita bisa menguji kedua kata itu dengan contoh kasus yang lain. Kita memiliki kain selebar 10 m dan ingin membaginya menjadi dua bagian. Dikatakan adil jika masing-masing pihak mendapatkan kain selebar 5 m. Hanya saja, jika kedua orang itu berbeda fisiknya (katakanlah orang yang satu bertubuh gemuk sehingga kain 5 m tadi kurang untuk membuat sebuah baju untuknya, sedangkan orang yang satunya lagi bertubuh kurus sehingga kain tadi bersisa percuma) apakah tindakan membagi dua sama besar itu ADIL..?

Jelaslah bahwa keputusan yang adil tidak selalu bijaksana. Dalam hal pembagian kain diatas, biarlah kita tidak berbuat adil asalkan bijaksana. Seyogyanya kain tadi dibagi menjadi dua bagian dengan lebar 6 m untuk si gemuk dan 4 m untuk si kurus. Dengan begitu keduanya bisa memperoleh baju tanpa ada yang kekurangan kain dan tanpa ada pula kain yang terbuang percuma.

Begitupun untuk semua pemimpin yang ada dinegeri ini... Bersikaplah bijaksana, tempatkanlah sesuatu hal pada tempatnya, dan berikanlah segala sesuatu menurut kebutuhannya, tidak kekurangan dan tidak pula berlebihan. Sehingga dapat kita interpretasikan KEADILAN yang BIJAKSANA.
 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ORGANISASI

Oleh : Amin. W. S. Tuhulele


Pendapat dan kesannya mengenai persaingan masa depan, serta adanya kemampuan dan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), kita menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang menyertai kemajuan jaman. SDM kita memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan dan disiapkan dalam menampaki masa depan. Yang justru menjadi tantangan yang terbesar adalah, bagaimana kita mempersiapkan aset intelektual. Dengan demikian, memberikan kontribusi optimal bagi pembentukan future exekutife yang dapat dikatagorikan sebagai superior performer.

Ungkapan willyam walace “every man dies, but…not every man really lives”. Bagi suatu organisasi, kalimat ini merupakan introspeksi sebelum memulai upaya mempersiapkan SDM yang dimiliki.

Organisasi membutuhkan kejelian untuk mengamati dan menganalisis anggotannya dengan demikian, dapat dideteksi beberapa dan sipa anggota yang benar-benar hidup, aktif berkarya dalam organisasi, dan dengan demikian juga menghidupkan organisasi. Selanjutnya, indentifikasi mengatur organisasi untuk mau secara terbuka mengenali alasan kematian anggota organisasi, dari berbagai aspek, dan membentuk dasar untuk menyusun pola pengembangan selanjutnya.

Dari analisa tersebut, organisasi dapat menentukan peta SDM yang dimiliki. Pada umumnya, para ahli menejmen membagi tingkat kehidupan atau kinerja SDM yang dimiliki, menjadi empat area, yaitu : Area kinerja kosong, area kinerja rendah, area kinerja standar, dan area kinerja puncak. Pengelompokan ini terutama bermanfaat untuk menentukan spesifikasi dari pola pengembangan SDM.

Mengembangkan SDM di area kinerja standar tentunya tidak sama dengan mengembangkan SDM yang menempati area kinerja rendah atau area kinerja kosong. Juga, upaya untuk mempertahankan kontribusi SDM di area kinerja puncak memerlukan kekhususan dan tekhnik yang spesifikasi yang bila dibandikan dengan pengelolaan di area lainnya. Selain itu, harus diperhatikan kepentingan dan harapan setiap anggotanya serta memahami perubahan karakter SDM sekarang dan proyeksi masa depan.

Yang dimaksud dengan area kinerja kosong adalah, area dimana anggotanya tidak memiliki kemauan untuk melakukan sesuatu, baik untuk diri sendiri maupun untuk organisasi. Sedikit “memiliki kehidupan” dalam organisasi adalah anggota dari area kinerja rendah, merupakan SDM yang mau melakukan sesuatu, tetapi lebih berfokus pada kepentingan dan kepuasan diri sendiri.tidak banyak yang dapat diharapkan dari anggota area ini apabila organisasi tidak melakukan tindakan pengambangan secara strategis. Area kinerja standar memiliki reputasi yang lebih baik, anggotanya memiliki kontribusi positif bagi organisasi dan memiliki motifasi mereka lebih banyak ditentukan oleh eksternal reinforce. Meskipun anggota area ini sudah benar-benar hidup dalam organisasi, kontribusi mereka yang sebenarnya dapat ditingkatkan apabila anggota organisasi mampu meraih jiwa mereka.

Area kinerja puncak merupakan area dimana anggotanya secara konstiten memiliki kinerja prima, memiliki komitmen penuh bagi pencapaian tujuan organisasi, dan merasa menjadi bagian dari organisasi. Pada ummnya anggota ini termotifasi secara intrinsip dan merupakan pekerja self stater. Anggota area ini ideal dan perlu dimiliuki untuk menghadapi masa depan. Beberapa karakterdari anggota area kinerja puncak adalah kemampuan untuk menerima tanggungjawab total, menyukai kebebasan dalam melaksanakan kewajiban, dan menyukai adanya montoring dan coaching dari atasan.

Kunci dari upaya penciptaan SDM yang memiliki kinerja puncak adalah pembentukan self responcibility ini mengarah pada pembentukan kepemilikian tanggungjawab yang tumbuh dari dalam, didukung oleh pola pemikiran yang efektif dan didasari oleh kompetensi, analisis dan kebijakan yang matang.

Beberapa metode dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan self responsibility, baik melalui metode pengembangan individu maupun kelompok. akan tetapi, bahwa cara yang paling efektif untuk menumbuhkan self responsibility dalam organisasi adalah, dengan mulai dari diri sendiri dan menjadi role model positif bagi rekan sekerja setiap pemimpin kelompok, baik formal maupun informal, memainkan peran penting dalam upaya menumbuhkan perasaan, bahwa mereka berharga dan diperlukan oleh organisasi. Pemimpin yang menumbuhkan rasa percaya diri anak buah, bahwa mereka adalah superior performer, dan organisasi perduli terhadap harapan mereka.

Perlu diingat, bahwa menumbuhkan tapi dibiarkan layu sebelum berkembang, tidak ada artinya. Upaya membentuk kekuatan masa depan, melalui sumber daya manusia dengan cara menciptakan performer primer saja tidak cukup. Lebih lanjut diperlukan kemampuan organisasi retaining dan retaining, melalui kegiatan-kegiatan mentoring, counseling, coaching, dan self coaching.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

AGAMA, POLITIK, DAN BUDAYA LOKAL


Oleh: Amin. W. S. Tuhulele

A.    Agama dan Politik
Dalam wacana ini, saya mengemukakan sekurang kurangnya tiga pola bagai mana agama dapat berpengaruh atas politik dan sebaliknya, yakni: a) Politisasi agama, b) Politik dijalankan sebagai urusan agama, c) Agama berpengaruh atas politik sebagai kekuatan moral. Dalam kenyataan politik, tentu saja tidak selalu mungkin memisahkan dengan tugas atara ketiga pola itu.

Politisasi agama
Disini ungkapan itu, pemanfaatan agama demi tujuan atau cita-cita politik. Tepatnya memberi atau menambah legitimasi kepada penguasa atau untuk melegitimasi usaha merebut kekuasaan. Agama mudah dimanfaatkan karena memberi atau dalam bahasa Magnis Suseno “mengangkat” motivasi tinggi. Pemanfaatan tersebut itu dapat berlangsung menggunakan pertimbangan religius, misalnya umat perlu mendukung politisi yang memperjuangkan agamanya.

Agmaisasi politik
Agamaisasi politik terkait dengan tuntutan agar (sebagian) kebijakan politik diambil sesuai dengan ketentuan agama, disini terdapat segala macam kemungkinan, mulai dimana Negara dimana hanya warga agama resmi merupakan warga Negara dengan segala hak dan kewajiban dan yang lain warga kelas dua, sampai situasi dimana hanya beberapa kebijakan tertentu diharpkan ditetapkan di atas dasar agama. Pola ini mempunyai tiga ciri: Pertama, pendekatannya adalah eksklusif. Maksudnya, bukan agama pada umumnya, melainkan agama tertentu. Sedangkan bagi agama-agama lain, mereka harus menyesuaikan diri dengan agama penentu. Kedua, argumentasi pun eksklusif karena tidak berdasarkan kepentingan umum, melainkan berdasar ajaran agama yang bersangkutan. Ketiga, hanya agama mayoritas berada dalam posisi untuk merealisasikan pola ini. Pola organisasi politik di Indonesia, muncul dalam berbagai isu, yakni: 1) Isu Negara islam; 2) Isu usaha pemasukan unsur-unsur syariat ke dalam hukum nasional; 3) Isu presiden perempuan; 4) Isu-isu sosial lainnya yang bernuansa agama.    

Agama sebagai kekuatan spiritual dan daya moral
Agama dapat pula berpengaruh pada politik dengan cara tidak formal dan tidak eksklusif yaitu sebagai kekuatan spiritualisasi meresapi seluruh sikap dan tingkah laku politik seseorang atau kelompok orang yang berpolitik. Pengaruh agama terungkap dalam upaya menangkan moralitas, baik dalam menetapkan sasaran kebijakan politik maupun dalam sasaran itu hendak dicapai. Misalnya, seseorang politisi atau sebuah partai politik dapat bertekad hanya memperjuangkan sasaran dan cara-cara yang jujur, adil dan mulai menguntungkan bagi masyarakat yang miskin, lemah dan tertindas. Mereka misalnya menolak pemakaian sembohyan bahwa pembangunan selalu menimbulkan korban, terutama untuk rakyat kecil.

B.     Agama dan Kebudayaan
Agama dan kebudayaan adalah dua entitas yang dapat saling mendukung, memberi dan menerima tapi juga bisa keduanya berjalan bersamaan dalam sautu dilematis. Kebudayaan pada hakikatnya adalah identitas manusia (entah individu, kelompok, maupun masyarakat). Karena melihat pada dasarnya melihat keseluruhan citra dirinya; kulitnya, perilakunya, tutur bahasanya, maupun ide serta gagasan-gagasan masa depannya. Dalam rangka itu agama dengan nilai-nilai etik moral, maupun manifestasi ajaran, ibadah dan beragam aturan yang diikuti penganutnya, dapat ikut menyambung bagi terbentuknya budaya seseorang, sekelompok atau suatu komonitas manusia.
Dalam manifestasi budaya lokal maka bahasa, adat, seni kebiasaan hidup, pada relasi sosial antara manusia adalah media budaya.

C.    Mensinergikan Ketiga Faktor (Agama, Politik, dan Budaya Lokal)
Dari uraian di atas jelas bahwa agama, politik dan kebudayaan memiliki yang sama yang berdimensi universial yakni: kemanusiaan, hak, martabat, jati diri manusia, merupakan sasaran satu-satunya dari ketiga entitas tesebut. Malahan ketiga-tiganya dapat “bekerjasama” erat terpikir untuk memanusiakan manusia.
Namun demikian, pelbagai peristiwa kemanusiaan, ternyata sebagai wahana, agama berada pada posisi dilematis sebab dipakai, secara sengaja atau tidak sengaja, untuk kepentingan kekuasaan segelintir (elit) politik, sementara kebudayaan tidak mempan untuk dieksplorasi untuk menyelesaikan berbagai kasus tersebut. Pertanyaan ke depan, dapatkah ketiganya disinergikan? Sebetulnya dalam tatanan masyarakat modern yang beradab, pertanyaan ini harus dijawab dengan tegas, Ya, bisa. Namun  harus ada ikhtiar yang dapat ditawarkan adalah:
Pertama, wajah kemanusiaan dari Sabda/Firman Allah, yang disaksikan dalam Kitab Suci agama, agar lebih ditampilkan ketimbang “metaphor” kekerasan dan anti kemanusiaan disaat-saat permulaan lahirnya agama yang dianut umat manusia. Kedua, aksi sosial bersama dari umat berbagai agama agar sesering mungkin untuk mengejewantahkan cirri kemanusiaan universial itu, Ketiga, para aktifis agama, politik dan kebudayaan, agar kritis, kreatif. Tetapi arif dan bijaksana menggunakan wacana yang terkait nilai-nilai yang dianut oleh umumnya masyarakat, guna memberi rasa aman, teratur, damai, penuh penghormatan seorang terhadap yang lain. Tujuannya untuk memperkokoh basis persatuan dan kesatuan sebagai titik tolak bagi perwujudan kesejahteraan umum bagi semua.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS