Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

AGAMA, POLITIK, DAN BUDAYA LOKAL


Oleh: Amin. W. S. Tuhulele

A.    Agama dan Politik
Dalam wacana ini, saya mengemukakan sekurang kurangnya tiga pola bagai mana agama dapat berpengaruh atas politik dan sebaliknya, yakni: a) Politisasi agama, b) Politik dijalankan sebagai urusan agama, c) Agama berpengaruh atas politik sebagai kekuatan moral. Dalam kenyataan politik, tentu saja tidak selalu mungkin memisahkan dengan tugas atara ketiga pola itu.

Politisasi agama
Disini ungkapan itu, pemanfaatan agama demi tujuan atau cita-cita politik. Tepatnya memberi atau menambah legitimasi kepada penguasa atau untuk melegitimasi usaha merebut kekuasaan. Agama mudah dimanfaatkan karena memberi atau dalam bahasa Magnis Suseno “mengangkat” motivasi tinggi. Pemanfaatan tersebut itu dapat berlangsung menggunakan pertimbangan religius, misalnya umat perlu mendukung politisi yang memperjuangkan agamanya.

Agmaisasi politik
Agamaisasi politik terkait dengan tuntutan agar (sebagian) kebijakan politik diambil sesuai dengan ketentuan agama, disini terdapat segala macam kemungkinan, mulai dimana Negara dimana hanya warga agama resmi merupakan warga Negara dengan segala hak dan kewajiban dan yang lain warga kelas dua, sampai situasi dimana hanya beberapa kebijakan tertentu diharpkan ditetapkan di atas dasar agama. Pola ini mempunyai tiga ciri: Pertama, pendekatannya adalah eksklusif. Maksudnya, bukan agama pada umumnya, melainkan agama tertentu. Sedangkan bagi agama-agama lain, mereka harus menyesuaikan diri dengan agama penentu. Kedua, argumentasi pun eksklusif karena tidak berdasarkan kepentingan umum, melainkan berdasar ajaran agama yang bersangkutan. Ketiga, hanya agama mayoritas berada dalam posisi untuk merealisasikan pola ini. Pola organisasi politik di Indonesia, muncul dalam berbagai isu, yakni: 1) Isu Negara islam; 2) Isu usaha pemasukan unsur-unsur syariat ke dalam hukum nasional; 3) Isu presiden perempuan; 4) Isu-isu sosial lainnya yang bernuansa agama.    

Agama sebagai kekuatan spiritual dan daya moral
Agama dapat pula berpengaruh pada politik dengan cara tidak formal dan tidak eksklusif yaitu sebagai kekuatan spiritualisasi meresapi seluruh sikap dan tingkah laku politik seseorang atau kelompok orang yang berpolitik. Pengaruh agama terungkap dalam upaya menangkan moralitas, baik dalam menetapkan sasaran kebijakan politik maupun dalam sasaran itu hendak dicapai. Misalnya, seseorang politisi atau sebuah partai politik dapat bertekad hanya memperjuangkan sasaran dan cara-cara yang jujur, adil dan mulai menguntungkan bagi masyarakat yang miskin, lemah dan tertindas. Mereka misalnya menolak pemakaian sembohyan bahwa pembangunan selalu menimbulkan korban, terutama untuk rakyat kecil.

B.     Agama dan Kebudayaan
Agama dan kebudayaan adalah dua entitas yang dapat saling mendukung, memberi dan menerima tapi juga bisa keduanya berjalan bersamaan dalam sautu dilematis. Kebudayaan pada hakikatnya adalah identitas manusia (entah individu, kelompok, maupun masyarakat). Karena melihat pada dasarnya melihat keseluruhan citra dirinya; kulitnya, perilakunya, tutur bahasanya, maupun ide serta gagasan-gagasan masa depannya. Dalam rangka itu agama dengan nilai-nilai etik moral, maupun manifestasi ajaran, ibadah dan beragam aturan yang diikuti penganutnya, dapat ikut menyambung bagi terbentuknya budaya seseorang, sekelompok atau suatu komonitas manusia.
Dalam manifestasi budaya lokal maka bahasa, adat, seni kebiasaan hidup, pada relasi sosial antara manusia adalah media budaya.

C.    Mensinergikan Ketiga Faktor (Agama, Politik, dan Budaya Lokal)
Dari uraian di atas jelas bahwa agama, politik dan kebudayaan memiliki yang sama yang berdimensi universial yakni: kemanusiaan, hak, martabat, jati diri manusia, merupakan sasaran satu-satunya dari ketiga entitas tesebut. Malahan ketiga-tiganya dapat “bekerjasama” erat terpikir untuk memanusiakan manusia.
Namun demikian, pelbagai peristiwa kemanusiaan, ternyata sebagai wahana, agama berada pada posisi dilematis sebab dipakai, secara sengaja atau tidak sengaja, untuk kepentingan kekuasaan segelintir (elit) politik, sementara kebudayaan tidak mempan untuk dieksplorasi untuk menyelesaikan berbagai kasus tersebut. Pertanyaan ke depan, dapatkah ketiganya disinergikan? Sebetulnya dalam tatanan masyarakat modern yang beradab, pertanyaan ini harus dijawab dengan tegas, Ya, bisa. Namun  harus ada ikhtiar yang dapat ditawarkan adalah:
Pertama, wajah kemanusiaan dari Sabda/Firman Allah, yang disaksikan dalam Kitab Suci agama, agar lebih ditampilkan ketimbang “metaphor” kekerasan dan anti kemanusiaan disaat-saat permulaan lahirnya agama yang dianut umat manusia. Kedua, aksi sosial bersama dari umat berbagai agama agar sesering mungkin untuk mengejewantahkan cirri kemanusiaan universial itu, Ketiga, para aktifis agama, politik dan kebudayaan, agar kritis, kreatif. Tetapi arif dan bijaksana menggunakan wacana yang terkait nilai-nilai yang dianut oleh umumnya masyarakat, guna memberi rasa aman, teratur, damai, penuh penghormatan seorang terhadap yang lain. Tujuannya untuk memperkokoh basis persatuan dan kesatuan sebagai titik tolak bagi perwujudan kesejahteraan umum bagi semua.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar